Pages

Jumat, 20 Juli 2012

Bertani secara Modern dengan Lampu LED

                                                          Penulis : Mohammad Hilmi Faiq | Kamis, 19 Juli 2012 | 20:03 WIB


Tanaman kacang ercis yang tumbuh dua kali lebih   cepat dengan sinar lampu LED

MEDAN, KOMPAS.com — Untuk membudidayakan hortikultura atau tanaman lain, petani tidak perlu khawatir lagi dengan anomali cuaca atau keterbatasan lahan. Kini, petani dapat memanfaatkan teknologi light emitting diode (LED).
Dengan mengatur panjang gelombang cahaya lampu LED, pemilik kebun bisa mendapatkan pertumbuhan tanaman secara maksimal.
Ini, antara lain, telah dicoba oleh pengusaha Amin M di Medan. Dia melakukan uji coba dengan menggunakan kulkas bekas yang dilengkapi dengan lampu LED dan AC berukuran 1 PK. Dalam kulkas tersebut, dia menaruh polibag berisi tanaman stroberi dan kacang ercis. Hasilnya, kacang ercis tersebut tumbuh dua kali lebih cepat dibanding kacang ercis yang diletakkan di halaman rumah.
Dalam kurun tiga hari, ercis tersebut tumbuh hingga 12 cm. "Kalau ditanam biasa di halaman rumah, paling baru tumbuh 5 cm atau 6 cm," kata Wakil Ketua Bidang Kebijakan Pemerintah Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kota Medan Elianor Sembiring, Kamis (19/7/2012) di Medan.
Elianor mengatakan, terobosan teknologi ini mampu menyiasati perubahan iklim dan keterbatasan lahan. Warga tetap bisa mengonsumsi berbagai jenis sayuran meskipun terjadi anomali cuaca.
Editor :
Nasru Alam Aziz



Desa Ini Punya Matahari Sendiri

                                                                     Desa Viganella


Di Italia, ada sebuah desa yang menarik wisatawan karena keunikannya. Bayangkan saja, desa yang ada di dalam lembah ini memiliki matahari sendiri. Bukan main

Viganella adalah sebuah desa yang terdapat di dasar lembah yang ada di Piedmont, Provinsi Verbano-Cusio-Ossola, Italia. Hampir sepanjang tahun, desa ini tidak pernah disinari oleh matahari seperti wilayah lainnya di dunia. Pada saat musim dingin datang, masyarakat Viganella bisa merasakan dingin yang luar biasa.

                                                            Sinar dari matahari buatan 
Ide cemerlang muncul dari kepala Giacomo Bonzani, arsitek yang mencoba membuatkan matahari untuk Viganella. Awalnya, banyak kalangan yang membatah ide sang arsitek karena dinilai mustahil. Namun, Giacomo telah memuktikannya dengan mewujudkan semua yang ada di kepalanya tersebut.

"Tapi saya yakin. Saya percaya pada ilmu fisika," ungka Bonzani yang dikutip oleh detikTravel dari Oddity Central, Senin (16/7/2012).

                                                   Ini dia kaca raksasa yang memantulkan sinar
Bonzani membuat cermin raksasa yang bisa memantulkan cahaya matahari ke arah desa yang ada di dasar lembah. Cermin raksasa ini kemudian dijuluki oleh masyarakat Viganella sebagai matahari buatan.

Cermin tersebut dikendalikan oleh perangkat lunak komputer agar bisa melacak di mana sumber matahari dan bisa memantulkannya secara otomatis ke arah desa. Tidak hanya masyarakat Viganella saja yang bisa merasakan dampak dari sinar matahari tersebut, tapi juga para wisatawan yang penasaran atas ide kreatif ini.

                                         Ilustrasi keberadaan desa dan proses pemantulan sinar
Selain berfungsi menyinari desa, ternyata matahari buatan juga sudah menjadi destinasi wisata. Pengunjung yang datang tidak hanya dari Italia saja, tapi juga dari mancanegara. Lembah ini memiliki pemandangan yang sangat cantik lengkap dengan hawanya yang sejuk. Masyarakat Viganella juga sangat ramah dengan para pengunjung yang datang.


sumber

Bangunan-Bangunan Megah yang Kini Tenggelam

Bangunan-bangunan yang dibuat dengan fungsi berbeda-beda ini kini telah menjadi danau dan sungai, tenggelam dalam luapan air dan telah menjadi rumah bagi ikan. Bangunan megah ini sengaja ditenggelamkan yang kini beralih fungsi  menjadi bendungan dan waduk. Dulunya bangunan ini berfungsi sebagai tempat ibadah, istana, benteng dan sekarang telah menjadi objek wisata populer bagi para turis dan fotografer.
1. St. Nicholas Church, Macedonia
Gereja St. Nicholas di Mavrovo, Republik Macedonia dibangun pada tahun 1850 dan berdiri selama 153 tahun sampai akhirnya diputuskan menjadi danau buatan yang diperlukan oleh masyarakat setempat. Pada suatu titik gereja ini sepenuhnya tenggelam, tetapi bangunan ini dapat naik lagi, terutama pada musim panas di abad 21.
2. Church Of Altgraun In Lake Reschen, Italy

Rencana pembangunan danau buatan manusia di daerah ini dimulai pada tahun 1920 oleh perusahaan Montecantini, yang akan digunakan sebagai pembangkit listrik. Tetapi pembangunan ini terhambat karena perlawanan masyarakat setempat yang tidak setuju dengan rencana tersebut.
Setelah bertahun-tahun tertunda dan menjadi perhatian pemerintah setempat, akhirnya desa Graun dan Reschen tenggelam pada tahun 1950 yang kini menjadi waduk. Total rumah tenggelam sebanyak 163 rumah, termasuk Gereja yang terkenal, yang kini masih dapat terlihat dengan menara jam yang masih berdiri diatas permukaan air sepanjang 20 kaki (6m)
3. Church of Old Petrolandia, Brazil
Petrolandia merupakan sebuah kota di Brasil terletak di dekat sungai Sao Fransisco, yang kini tenggelam akibat pembangunan bendungan. Kini, hanya bagian atap gereja saja yang masih dapat dilihat.
4. Kalyazin Bell Tower, Russia
The Kalyazin Bell Tower adalah menara lonceng bergaya Neo Klasik, yang kini tertutup oleh air.  Bangunan ini dibuat pada tahun 1796-1800 yang merupakan bagian dari biara St. Nicholas.
Ketika Stalin masih berkuasa dan memerintahkan untuk membangun bendungan Uglich di tahun 1939, bagian lama Kalyazin termasuk beberapa struktur yang dibangun pada abad pertengahan tertutup oleh air. Bangunan ini telah menjadi daya tarik wisata lokal di daerah timur Tver Oblast.
5. Jal Mahal Palace, India
al Mahal (yang berarti “istana air”) adalah istana yang terletak di tengah danau Man Sagar, kota Jaipur, ibu kota negara bagian Rajasthan, India. Dibangun sebagai istana rekreasi keluarga kerajaan pada tahun 1799, Jal Mahal merupakan tempat yang romantis dengan detil arsitektur rumit yang berada di tengah tenangnya gelombang air danau Man Sagar
6. Church of Mediano, Spain
Gereja Mediano adalah sebuah gereja abad ke-16 yang kini tenggelam, terletak di Mediano, Propinsi Huesca, Spanyol. Gereja ini dan seluruh desa disekitar tenggelam oleh air pada saat pembangunan bendungan di tahun 1960. Penduduk terakhir meninggalkan desa ketika air sudah masuk ke dalam rumah mereka
7. Tricule Fortress, Romania
Benteng Tricule dibangun pada abad ke 15 yang berfungsi untuk menghentikan ekspansi Kerajaan Ottoman Barat, terletak di dekat wilayah Svinita, perbatasan Rumania dan Serbia. Pada sisi kiri Sungai Donau, 4km dari Svinita, terdapat 3 menara bebenruk segitiga. Terbuat dari batu, yang masih tamoak berdiri dengan ketinggian 1,4 m, terdiri dari 3 tingkat.
8. The Nativity Church, Russia
Gereja Nativity dibangun pada akhir abad ke 18 (sekitar tahun 1790). Gereja ini terletak di tepi danau Beloye. Gereja Nativity tenggelam ketika Uni Soviet memulai pembangunan tanaman hidroelektrik. Gereja ini separuhnya telah rusak, dan kini menjadi rute wisata  sungai Sheksna. Pada tahun 2009 telah dilakukan upaya penyelamatan bangunan ini.


Kotoran Purba Ini Milik Leluhur Orang Amerika


Kotoran menunjukkan manusia tinggal di gua sejak 14.300 tahun lalu

                                            Kotoran purba di Gua Paisley, AHuffingtonPost.comS
VIVAnews - Peralatan batu dan DNA manusia ditemukan di gua kuno Oregon, Amerika Serikat. Ini menjadi bukti baru cara orang Amerika pertama menyebar ke penjuru benua. Berbeda dengan budaya Clovis yang lebih populer, kelompok terpisah ini menguasai wilayah Barat.

Penemuan oleh tim ilmuwan internasional dari AS, Inggris, dan Denmark ini dilaporkan pada jurnal Science

Arkeolog dari tim ekskavasi Museum Sejarah Budaya dan Alam Universitas Oregon, AS mengatakan, mereka menggunakan berbagai teknik untuk mengungkap petunjuk ini. Mereka menentukan tombak obsidian dari Gua Paisley ini berusia 13.200 tahun. Sama tuanya dengan banyak alat-alat batu dari budaya Clovis yang ditemukan di sebelah tenggara dan berbagai tempat di Amerika Serikat.

Budaya Clovis diberi nama setelah penemuan alat batu runcing yang terkuak pada 1929 dekat Clovis, AS. Mereka menggunakan alat berbentuk poros tombak kayu atau panah untuk berburu. Gaya ini ditemukan di Oregon.

Ilmuwan juga meneliti kotoran manusia yang sudah mengering dari Gua Paisley. Berdasarkan penentuan tanggal radio-karbon dan DNA manusia, kotoran ini menunjukkan orang-orang tinggal di gua sejak 14.300 tahun lalu.

Umur kotoran ini menunjukkan alat kepingan batu budaya Clovis bukanlah ibu dari teknologi Zaman Batu. Menurut arkeolog pemimpin ekskavasi, Dennis Jenkins, kedua gaya ini dikembangkan secara mandiri oleh kelompok yang berbeda.

Pengembangan peralatan batu ini mungkin terjadi pada periode Zaman Es Beringa. Ketika itu Siberia, Rusia dan Alaska, AS terkait. Kedua kelompok ini pun bermigrasi ke utara.
Jenkins dan peneliti lainnya melaporkan penemuan kotoran manusia yang menjadi fosil atau komprolit ini pada 2008. DNA manusia purba ini terkait dengan orang-orang dari Asia dan juga Indian modern.

Jenkins menilai temuan ini menunjukkan kelopok orang ini mengambil rute yang berbeda setelah melintasi daratan Zaman Es dari Asia. Pembuat alat bebatuan berupa mata peluru yang menguasai barat ini mungkin pergi melintasi pesisir, sementara orang Clovis mengarungi jalur bebas es di pedalaman AS.
"Kami telah mendemonstrasikan tradisi awal bangsa Barat mengarah pada masa yang sama dengan Clovis. Tidak ada jejak bukti Clovis atau pendahulu Clovis ada di gua ini sekarang. Ini menunjukkan mereka berada di sini pada waktu yang sama, setidaknya ada dua teknologi," ujar Jenkins seperti dilansir dari Huffington Post.
Tidak semua setuju dengan penemuan Jenkins. Profesor prasejarah Universitas Southern Methodist, David Meltzer mengatakan pembuat mata peluru Barat ini ada pada masa yang sama dengan Clovis. Kesamaan masa ini menguburkan keraguan temuan DNA manusia sebelumnya di Gua Paisley telah terkontaminasi melalui kontak dengan manusia modern yang menggali situs. Tapi, dia tidak yakin alat batu ini menunjukkan perpisahan migrasi orang purba melintasi benua. (sj)

Misteri "UFO" Laut Baltik Diduga Terkait Nazi

Oyek misterius di Laut Baltik diduga terkait Nazi (Daily Mail)

VIVAnews -- Sejak tahun lalu, para pemburu harta karun dan sejumlah ahli dari Swedia terpukau oleh temuan lingkaran misterius berdiameter 18,26 meter yang terbaring di dasar Laut Baltik. Bentuknya mirip dengan gambaran piring terbang UFO (unidentified flying object), meski ada juga yang menduganya gunung bawah laut, meteorit, atau kapal yang tenggelam.

Baru-baru ini, tim penyelam profesional yang mengeksplorasi dasar Laut Baltik punya dugaan lain. Obyek melengkung aneh itu diduga adalah perangkat milik Nazi -- partai totaliter Jerman -- yang hilang ditelan ombak pada akhir Perang Dunia II.

Pemindaian melalui sonar menunjukkan, perangkat itu bisa jadi adalah bagian dari sistem senjata anti-kapal selam. Ia dilengkapi kawat yang bisa mengacaukan radar kapal selam, agar kapal lawan celaka.

Hipotesis itu didukung mantan perwira angkatan laut Swedia sekaligus ahli Perang Dunia II, Anders Autellus. Ia mengungkap, struktur dengan ukuran 60,9 x 7,6 meter itu bisa jadi bagian perangkat yang didesain untuk memblokir manuver kapal selam Inggris dan Uni Soviet di wilayah itu.

Jika perkiraan itu benar, struktur baja dan beton kuat ini bisa jadi itu temuan sejarah paling penting dalam beberapa tahun ini.

Autellus mengklaim, obyek tersebut dibangun dari beton ganda dan diperkuat dengan kawat untuk mengacaukan radar. Ini menjelaskan mengapa peralatan tim penyelam profesional yang berusaha mendekati obyek misterius itu, mati mendadak.

Dia menjelaskan, area ini sangat vital bagi Jerman kala itu. Untuk pengiriman tank dan truk para serdadu Adolf Hitler. "Perangkat ini jauh melebihi apapun yang pernah ditemukan sebelumnya. Ini adalah penemuan senjata penting," kata dia seperti dimuat Daily Mail.

Sementara, penyelam profesional, Stefan Hogeborn -- yang menjadi bagian dari tim Ocean X-- mengaku setuju. "Ini adalah kandidat jawaban terbaik untuk menjelaskan misteri ini. Obyek ini terletak tepat di bawah rute pelayaran." 

Ketika tim Ocean Explorer bersemangat, yakin temuan mereka akan menggemparkan dunia, sejumlah orang justru skeptis dan mempertanyakan akurasi teknologi solar, yang dijadikan dasar ekspedisi tim.

Anomali
Jika benar itu senjata anti-kapal selam milik Nazi yang dilengkapi pengacak radar, itu bisa menjelaskan keanehan yang sempat terjadi di tengah proses penyelidikan.
Saat mencoba mendekat dalam radius 200 meter dari obyek misterius, semua peralatan yang dibawa tim penyelam mendadak mati.

Stefan Hogerborn menceritakan, saat mengeksplorasi anomali bawah laut itu, kamera dan telepon satelit tak bisa digunakan, ketika kapal berada tepat di atas obyek. Peralatan itu baru bisa bekerja begitu dibawa menjauh.

"Semua peralatan elektronik mati, juga telepon satelit, saat kami berada di dekat obyek," kata dia. "Saat kami menjauh, sekitar 200 meter, baru peralatan itu bisa digunakan," kata dia. Saat kembali mendekati lokasi obyek itu, peralatan kembali mati.

Penyelam lain, Peter Lindberg mengaku timnya telah mengalami hal-hal di luar dugaan. "Juga skeptis terkait banyaknya teori soal benda itu," kata dia.

Awalnya, dia menjelaskan, tim sudah bersiap jika benda tersebut ternyata hanya tebing atau gundukan lumpur di bawah laut. "Namun, sepertinya tak sesederhana itu. Bagi saya, ini petualangan yang harus dilalui."
Laut Baltik adalah kuburan harta karun untuk para pemburu kapal karam. Diperkirakan ada  sekitar 100.000 obyek di dasar laut yang dingin itu.

Selain bertujuan meneliti, Ocean Explorer juga berorientasi bisnis. Perusahaan ini telah membuat kapal selam untuk para turis atau mereka yang penasaran dengan perburuan harta karun, agar bisa menjelajahi dasar laut Baltik.

Sebuah penyelaman lebih lanjut untuk mengungkap obyek misterius itu akan berlangsung dalam beberapa minggu mendatang. (eh)


Kutang Modis Ada sejak 600 Tahun Lalu

                                                                  Kutang kuno berasal dari masa 600 tahun lalu.



VIENNA, KOMPAS.com — Penemuan baru mengubah pemahaman tentang sejarah pakaian dalam. Arkeolog dari University of Insbruck menemukan sisa-sisa kutang dari masa 600 tahun lalu, menunjukkan bahwa jenis pakaian dalam tersebut eksis lebih awal dari dugaan.
Kutang tersebut ditemukan di sebuah kastil di Austria, merupakan peninggalan dari abad pertengahan. Kutang terbuat dari bahan linen.
Sebenarnya, kutang sudah ditemukan pada tahun 2008. Namun, informasi baru menyebar ke publik setelah penemunya, Beatrix Nutz, mengungkap temuannya kepada BBC History Magazine.
Ilmuwan dan pakar fashion terkejut dengan penemuan ini. Sebelumnya, dipercaya bahwa pakaian dalam yang berkembang lebih dulu adalah korset.
Kutang baru berkembang sekitar 100 tahun lalu ketika perempuan mulai mengabaikan korset yang ketat.
Dengan temuan ini, maka diketahui bahwa kutang juga berkembang sejak lama.
"Kami tak memercayai penemuan ini sendiri. Dari yang kami tahu, tak ada pabrik garmen memproduksi kutang pada abad ke-15," kata Beatrix Mutz dari University of Insbruck, penemu kutang tersebut, seperti dikutip AP, Kamis (9/7/2012).
Riset menunjukkan, kutang yang ditemukan tak cuma fungsional. Hiasan serupa dengan kutang modern seperti renda dan ornamen lainnya juga didapatkan.
Selain itu, kutang ini juga dilengkapi cup. Tali kutang, meskipun sudah hancur, tanda keberadaannya dapat dikenali.
Hillary Davidson, kurator fashion dari Museum London, mengatakan bahwa kutang ini adalah missing link dalam perkembangan pakaian dalam perempuan.
Kutang sendiri dipercaya baru berkembang pada awal abad ke-19 dan dibuat kali pertama oleh Mary Phelps Jacob, sosialite asal New York, yang tak puas dengan korset.

Selain kutang, di Lemberg Castle di Tyrol, peneliti juga menemukan sepasang panties. Namun menurut Nutz, panties tersebut diduga merupakan pakaian laki-laki.
Celana dalam diduga merupakan simbol dominasi dan kekuasaan laki-laki pada masa itu.
Sumber :
AP
Editor :
Benny N Joewono



tuk

Jejak Kehidupan Purba di Cekungan Soa



Petugas dari Museum Geologi Bandung, Soni, membersihkan fosil-fosil stegodon di Situs Bualesa, Cekungan Soa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, Jumat (1/6). Di cekungan ini ditemukan banyak fosil stegodon, komodo, buaya, kura-kura raksasa, dan ribuan artefak batu yang berusia sekitar satu juta tahun.

KOMPAS.com - Sembilan matahari seolah bersinar di atas kepala. Teriknya memanggang Cekungan Soa. Meski musim kering belum mencapai puncak pada Maret, savana telah menguning. Pepohonan hanya merimbun di kanan-kiri Sungai Ae Sisa yang mengalir deras di dasar lembah.

Dari kejauhan, Gunung Ambulombo tinggi menjulang. Dalam naungan langit biru tanpa awan, 150 warga Kecamatan Soa mandi keringat mengorek lapisan tanah bagian atas di lereng-lereng dan dasar lembah dengan cangkul dan sekop. Para arkeolog dan paleontolog memimpin penggalian dengan kuas dan pahat mini. Mereka berpencar di beberapa situs penggalian yang tersebar di Cekungan Soa.

”Tuk, tuk, tuk, tuk…!” Bunyi ketukan palu pada pahat besi meramaikan lembah di kaki tebing curam yang mirip tembok raksasa. Warga setempat menyebut tebing itu sebagai Tangi Talo, artinya tangga yang mustahil didaki.

Setelah berhari-hari terbakar terik matahari, siang itu, dari lubang galian sekitar 1 meter, tulang-belulang menyembul dari kedalaman Bumi. Warna putihnya sudah memudar menjadi coklat kekuningan dan sebagian retak di sana-sini. Tapi, bentuknya masih dikenali.

Gading Stegodon sondaari berukuran sekitar 1,6 sentimeter ditemukan di bagian tengah galian. Di bagian atas terdapat tulang rahang. Sementara tengkorak, tulang belakang, dan rusuknya terserak di bagian bawah.

Tulang-belulang gajah purba itu tercampur dengan tulang pemangsanya, komodo dan buaya. Semua tulang sudah lepas dari sambungan, tidak utuh, mengabarkan pernah terjadinya banjir lumpur pada masa lalu, yang menggulung dan menghanyutkan binatang-binatang ini dari lereng tebing Tangi Talo ke dasar lembah.

Total ada 10 binatang di lubang galian ini, yaitu gajah, komodo, buaya, dan kura-kura. ”Lokasi ini merupakan habitat kehidupan purba yang cukup subur dan ramai,” kata Gerrit Dirk van den Bergh, peneliti paleontologi dari School of Earth and Environmental Sciences, University of Wollongong, Australia. Lelaki ini meneliti fosil binatang di Soa sejak tahun 1993.

”Pada tahun-tahun sebelumnya, kami juga menemukan banyak fosil binatang purba, termasuk tempurung kura-kura raksasa,” kata Erick Setiyabudi, paleontolog dari Pusat Survei Geologi Bandung (PSG). ”Dari ukuran cangkangnya, kura-kura raksasa yang ditemukan di Soa tak kalah dengan yang sekarang masih hidup di Kepulauan Galapagos.”

Kekayaan temuan fosil ini menguatkan cerita ramainya kehidupan di Cekungan Soa saat itu. Kehidupan yang kemudian terenggut tiba-tiba.

"Semua fosil yang ditemukan terlapisi material gunung api,” kata Ruly Setiawan, geolog dari PSG. Kandidat doktor dari Wollongong University ini memfokuskan penelitiannya untuk melacak gunung api yang menghabisi kehidupan di Cekungan Soa. ”Umur lapisan di Cekungan Soa berada dalam rentang 650.000 tahun hingga 1,02 juta tahun lalu. Dalam rentang itulah, gunung api silih berganti meletus dan menciptakan suksesi kehidupan.”

Secara stratigrafi, Cekungan Soa dibagi menjadi dua formasi penting, yaitu Ola Kile sebagai bantalan di lapisan paling bawah serta formasi Ola Bula dan formasi Gero di atasnya. Umur formasi Ola Kile berdasarkan penarikan umur menggunakan metode jejak belah (fission track) batuan adalah 1,86 juta tahun dan umur formasi Ola Bula 880.000 tahun. Adapun formasi Gero sekitar 650.000 tahun.

Fachroel Aziz memastikan bahwa formasi Ola Kile merupakan produk gunung api berupa batuan breksi yang keras. ”Cekungan Soa tadinya berupa cekungan besar, yang kemudian tertutup batuan breksi dari letusan gunung. Batuan breksi susah ditembus air sehingga terbentuklah danau, barulah timbul kehidupan di sekitar danau,” katanya.

Dengan melihat halusnya ukuran batuan gunung api yang melapisi Cekungan Soa, Ruly menduga, sumber letusan itu cukup jauh. Dia memetakan, sedikitnya tiga gunung api yang diperkirakan menjadi penyebab petaka itu. Pertama, gunung api di sisi utara cekungan, yaitu Kaldera Welas, kedua adalah Gunung Kalelambu di sisi timur cekungan, dan ketiga, Gunung Kero di sebelah tenggara Soa.

”Kami masih menunggu hasil penelitian di laboratorium untuk mengetahui kapan ketiga gunung api itu meletus pada masa lalu. Penanggalan usia batuan menggunakan argon-argon memperlihatkan, lapisan vulkanik yang melapisi Soa ini berumur sekitar satu juta tahun,” kata Ruly. ”Jika kita ketemu gunung api yang meletus hebat satu juta tahun lalu, kita bisa tahu sumber bencana di Soa.”

Setelah kehancuran akibat letusan gunung api itu, menurut Ruly, kehidupan yang punah kemudian tergantikan oleh spesies baru. Rerumputan kembali tumbuh subur di cekungan itu. Sungai-sungai kembali mengalirkan air bersih, mengundang kehidupan untuk kembali datang dan bersemi kembali.

Sekitar 880.000 tahun lalu, Cekungan Soa kembali dihuni. Kali ini bukan oleh gajah kerdil, tetapi oleh serombongan gajah besar (Stegodon florensis), tikus besar, dan komodo. Sekelompok manusia purba juga diduga kembali datang.

Namun, petaka kembali terjadi. Sekali lagi, letusan gunung api mengubur kehidupan yang baru bersemi di Cekungan Soa. Banjir lumpur kembali melapisi dan mengawetkan tulang binatang dan alat-alat batu itu.

Lapisan kehidupan tahap kedua inilah yang ditemukan Iwan Kurniawan, palentolog dari PSG, di lembah sempit yang berada di tengah-tengah Cekungan Soa. Situs yang diberi nama Mata Menge ini berada di ketinggian 325 meter di atas permukaan laut, dikepung perbukitan.

Situs Mata Menge, menurut Iwan, sudah diteliti oleh tim PSG bekerja sama dengan University of New England sejak akhir tahun 1990-an. Penggalian sebelumnya telah menemukan fosil Stegodon florensis, komodo, buaya, dan moluska air tawar. Selain itu juga ditemukan sedikitnya 200 alat batu yang umumnya terdiri atas serpih bilah dan batu inti.

Berjarak sekitar 2,5 kilometer dari Mata Menge, tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) melakukan penggalian di Kobatuwa. Situs ini berupa lembah yang bagian tengahnya dibelah sungai yang mengering saat kemarau. Nama Kobatuwa diartikan penduduk sebagai tali hutan karena wilayah ini dulu merupakan hutan yang ditumbuhi tanaman belukar dengan akar sangat lebat.

”Di Kobatuwa, kami menemukan beragam artefak batu yang melimpah dan fragmen fosil tulang serta gigi hewan vertebrata yang umumnya jenis hewan stegodon,” kata Jatmiko, arkeolog dari Puslit Arkenas. ”Sebagian temuan didapatkan dalam keadaan masih melekat di lapisan tanah aslinya.”

Pada umumnya, temuan artefak di Kobatuwa didominasi jenis alat-alat serpih bilah. Penelitian melalui analisis jejak belah terhadap endapan tufa putih yang melapisi situs mengungkap, situs ini berusia sekitar 700.000 tahun.

Berbagai temuan alat batu ini semakin menguatkan hipotesis Father Theodor Verhoeven bahwa Cekungan Soa pernah dihuni manusia purba. Pada tahun 1968, pastor berkebangsaan Belanda ini menemukan fosil stegodon dan artefak alat batu di Cekungan Soa. Verhoeven yang pernah belajar arkeologi itu menggali lapisan tanah di beberapa lokasi di Cekungan Soa, yaitu Mata Menge, Boa Lesa, dan Ola Bula.

Verhoeven melaporkan temuannya berupa alat batu dan tulang stegodon di balik lapisan abu gunung api. Karena stegodon hidup di Indonesia sekitar 750.000 tahun lalu, dia mengklaim bahwa alat batu itu juga berasal dari tahun yang sama. Namun, temuan itu tak banyak mendapatkan respons karena tiadanya kepastian umur batuan.

Setelah lama terabaikan, tahun 1991-1992, tim gabungan dari The Netherlands National Museum of Natural History bersama dengan PSG yang waktu itu masih bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G) melakukan penggalian di Mata Menge. Tim ini juga melakukan pengujian paleomagnetik untuk mengetahui umur lapisan batuan yang mengubur fosil dan artefak batuan.

Pada tahun 1994, P3G melanjutkan penggalian di Cekungan Soa bekerja sama dengan The University of New England, Australia. Penelitian itu berlangsung hingga saat ini dan telah menemukan 12 situs artefak dan fosil. Tersebar di bagian tengah cekungan, di bagian barat dengan situs Mata Menge, Kobatuwa, Boa Lesa, dan Lembah Menge. Di bagian utara terdapat kelompok Tangi Talo dan Ola Bula. Di bagian timur-tenggara terdapat kelompok Dhozo Dalu, Sagala, Ngamapa, dan Kopowatu.

Dari semua situs yang digali, ditemukan aneka jenis binatang purba dan alat batu. Namun, penggalian di Cekungan Soa belum menemukan tulang-belulang manusia purba. ”Berdasarkan bentuk alat-alat batu yang ditemukan, kami menduga manusia purba di sini adalah nenek moyang Homo florensiensis di Liang Bua,” kata Mike. ”Tetapi, semua teori ini masih spekulatif, sampai kami bisa menemukan fosil manusia purba di sini,” kata Mike, arkeolog tua ini sambil menghela napas.

Adam Brumm, research fellow pada University of Wollongong, Australia, mengungkapkan, temuan manusia purba di Flores juga bakal mengubah peta migrasi sejarah manusia. ”Kita akan punya bukti bahwa ada migrasi manusia dari timur. Ini menarik dan pasti akan mengejutkan dunia,” katanya.

Senja temaram di Cekungan Soa. Suasana sepi. Warga lokal yang bekerja sebagai penggali sudah pulang ke rumah. Mike baru saja beranjak dari lubang galian di Mata Menge menuju base camp di Desa Mengeruda ketika dia berkata dengan lirih, ”Satu gigi pun cukup. Satu tubuh, tentu akan lebih baik.”
(Tim Penulis Ekspedisi Cincin Api Kompas)
Ikuti perjalanan Ekspedisi Cincin Api Kompas di www.cincinapi.com
 Sumber : Kompas Cetak Editor : Tri Wahon


o
















Bumi Punya Planet Tetangga Baru


                                                                               Ilustrasi planet UCF 1.01
FLORIDA, KOMPAS.com — Bumi memiliki planet tetangga baru. Namun, bukan terletak di tata surya tempat Bumi bernaung. Planet tetangga itu terletak di luar tata surya pada jarak 33 tahun cahaya, tergolong dekat.

Planet tetangga baru Bumi tersebut diberi nama UCF 1.01. Ukuran planet itu hanya dua pertiga ukuran Bumi. UCF 1.01 mengorbit sangat dekat dengan bintangnya sehingga mengorbit hanya dalam waktu 1,4 hari.

Karena berjarak sangat dekat dengan bintangnya, planet ini mustahil untuk dihuni. Temperatur permukaannya 538 derajat celsius, tak memiliki atmosfer, dan permukaannya berupa lelehan.

Kevin Stevenson, mahasiswa PhD di university Central Florida yang terlibat penemuan itu, mengatakan, "Kami menemukan bukti kuat planet yang sangat kecil, panas, dan dekat dengan bintangnya dengan teleskop Spitzer."

Saat menemukan, sebenarnya Stevenson dan rekannya sedang mempelajari planet panas seukuran Neptunus yang bernama GJ 436b. Planet itu diketahui mengelilingi bintang katai merah GJ436. Mengamati dengan metode transit, yakni dengan melihat kedipan cahaya bintang akibat adanya planet yang lewat di mukanya, peneliti mendeteksi adanya kemungkinan GJ486 memiliki satu atau dua planet lain.

Berdasarkan temuan itu, maka pengamatan lebih lanjut dilakukan dengan Spitzer, wahana Deep Impact, Very Large Telescope di Cile, dan Canada-France-Hawaii Telescope dekat Mauna Kea di Hawaii. Dengan temuan ini, maka GJ486 mungkin diorbit oleh lebih dari satu planet. Meski demikian, penelitian massa UCF 1.01 masih harus dilakukan untuk bisa memastikan bahwa obyek itu memang planet.

"Saya harap observasi ke depan akan mengonfirmasi penemuan yang menarik ini, yang menunjukkan bahwa Spitzer bisa menemukan planet seukuran Mars," kata Michael Werner, peneliti NASA untuk misi Spitzer seperti dikutip EurekAlert, Rabu (18/7/2012).
Sumber :
EurekAlert
Editor :
Laksono Hari W

Genom Sperma Berhasil Diurutkan



STANFORD, KOMPAS.com - Untuk pertama kalinya, ilmuwan berhasil mengurutkan genom sperma. Keberhasilan ini diumumkan di jurnal Cell yang terbit Kamis (19/7/2012).

Stephen Quake, bioengineer dari Stanford University yang terlibat penelitian mengatakan, "Penemuan ini memiliki implikasi luas untuk studi kanker, infertilitas dan banyak penyakit lain."

Hasil penelitian ini juga bisa membantu ilmuwan memahami proses rekombinasi genetik antara sperma dan sel telur.

Untuk dapat mengurutkan genom sperma, Quake dan rekannya mengoleksi sampel sperma dari 91 pria berusia 40 tahunan yang memiliki semen baik dan keturunan sehat. Secara mengejutkan, mereka menemukan variabilitas yang besar antar sel sperma.

Diketahui, sel sperma dan sel telur (gamet) memiliki setengah dari jumlah kromosom yang terdapat pada sel tubuh. Sel tubuh memiliki 46 kromosom sementara sel sperma dan telur hanya memiliki 23.

Dalam proses perkawinan, terjadi perpaduan genetik. Untai DNA beregabung dengan untai DNA lainnya dari pasangan membentuk gabungan gen yang baru.

Hingga saat ini, ilmuwan masih memiliki keterbatasan untuk mempelajari gen pada populasi yang besar guna mengetahui rekomnbinasi yang terjadi. Dalam studi terbaru ini, ilmuwan berhasil membandingkan gen pada sel sperma dan sel tubuh individu yang sama.

Riset mengungkap, rekombinasi rata-rata terjadi 23 kali pada sel sperma. Beberapa mengalami rekombinasi lebih dari yang lain.

Selain rekombinasi, terjadi juga mutasi. Peneliti mengungkapkan adanya 25 - 36 mutasi pada satu nukleotida pada masing-masing sel sperma. Mutasi ini bisa berdampak baik maupun buruk pada keturunan.

"Sekarang kami bisa melihat pada level individu, mengetahui apa yang akan diberikannya pada embrio dan mungkin mendiagnosa atau mendeteksi masalah yang potensial," kata Berry Bohr dari Stanford University yang juga terlibat studi.
Sumber :
Editor :
Kistyarini



tuk

sumbalinga

"Saya tidak takut pada orang yang berlatih sekali untuk 10.000 tendangan, tapi saya takut pada orang yang berlatih satu tendangan sebanyak 10.000 kali"
Bruce lee