Petugas dari Museum Geologi Bandung, Soni, membersihkan fosil-fosil stegodon di Situs Bualesa, Cekungan Soa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, Jumat (1/6). Di cekungan ini ditemukan banyak fosil stegodon, komodo, buaya, kura-kura raksasa, dan ribuan artefak batu yang berusia sekitar satu juta tahun.
KOMPAS.com - Sembilan matahari seolah bersinar di atas kepala. Teriknya memanggang Cekungan Soa. Meski musim kering belum mencapai puncak pada Maret, savana telah menguning. Pepohonan hanya merimbun di kanan-kiri Sungai Ae Sisa yang mengalir deras di dasar lembah.
Dari kejauhan, Gunung Ambulombo tinggi menjulang. Dalam naungan langit biru tanpa awan, 150 warga Kecamatan Soa mandi keringat mengorek lapisan tanah bagian atas di lereng-lereng dan dasar lembah dengan cangkul dan sekop. Para arkeolog dan paleontolog memimpin penggalian dengan kuas dan pahat mini. Mereka berpencar di beberapa situs penggalian yang tersebar di Cekungan Soa.
”Tuk, tuk, tuk, tuk…!” Bunyi ketukan palu pada pahat besi meramaikan lembah di kaki tebing curam yang mirip tembok raksasa. Warga setempat menyebut tebing itu sebagai Tangi Talo, artinya tangga yang mustahil didaki.
Setelah berhari-hari terbakar terik matahari, siang itu, dari lubang galian sekitar 1 meter, tulang-belulang menyembul dari kedalaman Bumi. Warna putihnya sudah memudar menjadi coklat kekuningan dan sebagian retak di sana-sini. Tapi, bentuknya masih dikenali.
Gading Stegodon sondaari berukuran sekitar 1,6 sentimeter ditemukan di bagian tengah galian. Di bagian atas terdapat tulang rahang. Sementara tengkorak, tulang belakang, dan rusuknya terserak di bagian bawah.
Tulang-belulang gajah purba itu tercampur dengan tulang pemangsanya, komodo dan buaya. Semua tulang sudah lepas dari sambungan, tidak utuh, mengabarkan pernah terjadinya banjir lumpur pada masa lalu, yang menggulung dan menghanyutkan binatang-binatang ini dari lereng tebing Tangi Talo ke dasar lembah.
Total ada 10 binatang di lubang galian ini, yaitu gajah, komodo, buaya, dan kura-kura. ”Lokasi ini merupakan habitat kehidupan purba yang cukup subur dan ramai,” kata Gerrit Dirk van den Bergh, peneliti paleontologi dari School of Earth and Environmental Sciences, University of Wollongong, Australia. Lelaki ini meneliti fosil binatang di Soa sejak tahun 1993.
”Pada tahun-tahun sebelumnya, kami juga menemukan banyak fosil binatang purba, termasuk tempurung kura-kura raksasa,” kata Erick Setiyabudi, paleontolog dari Pusat Survei Geologi Bandung (PSG). ”Dari ukuran cangkangnya, kura-kura raksasa yang ditemukan di Soa tak kalah dengan yang sekarang masih hidup di Kepulauan Galapagos.”
Kekayaan temuan fosil ini menguatkan cerita ramainya kehidupan di Cekungan Soa saat itu. Kehidupan yang kemudian terenggut tiba-tiba.
"Semua fosil yang ditemukan terlapisi material gunung api,” kata Ruly Setiawan, geolog dari PSG. Kandidat doktor dari Wollongong University ini memfokuskan penelitiannya untuk melacak gunung api yang menghabisi kehidupan di Cekungan Soa. ”Umur lapisan di Cekungan Soa berada dalam rentang 650.000 tahun hingga 1,02 juta tahun lalu. Dalam rentang itulah, gunung api silih berganti meletus dan menciptakan suksesi kehidupan.”
Secara stratigrafi, Cekungan Soa dibagi menjadi dua formasi penting, yaitu Ola Kile sebagai bantalan di lapisan paling bawah serta formasi Ola Bula dan formasi Gero di atasnya. Umur formasi Ola Kile berdasarkan penarikan umur menggunakan metode jejak belah (fission track) batuan adalah 1,86 juta tahun dan umur formasi Ola Bula 880.000 tahun. Adapun formasi Gero sekitar 650.000 tahun.
Fachroel Aziz memastikan bahwa formasi Ola Kile merupakan produk gunung api berupa batuan breksi yang keras. ”Cekungan Soa tadinya berupa cekungan besar, yang kemudian tertutup batuan breksi dari letusan gunung. Batuan breksi susah ditembus air sehingga terbentuklah danau, barulah timbul kehidupan di sekitar danau,” katanya.
Dengan melihat halusnya ukuran batuan gunung api yang melapisi Cekungan Soa, Ruly menduga, sumber letusan itu cukup jauh. Dia memetakan, sedikitnya tiga gunung api yang diperkirakan menjadi penyebab petaka itu. Pertama, gunung api di sisi utara cekungan, yaitu Kaldera Welas, kedua adalah Gunung Kalelambu di sisi timur cekungan, dan ketiga, Gunung Kero di sebelah tenggara Soa.
”Kami masih menunggu hasil penelitian di laboratorium untuk mengetahui kapan ketiga gunung api itu meletus pada masa lalu. Penanggalan usia batuan menggunakan argon-argon memperlihatkan, lapisan vulkanik yang melapisi Soa ini berumur sekitar satu juta tahun,” kata Ruly. ”Jika kita ketemu gunung api yang meletus hebat satu juta tahun lalu, kita bisa tahu sumber bencana di Soa.”
Setelah kehancuran akibat letusan gunung api itu, menurut Ruly, kehidupan yang punah kemudian tergantikan oleh spesies baru. Rerumputan kembali tumbuh subur di cekungan itu. Sungai-sungai kembali mengalirkan air bersih, mengundang kehidupan untuk kembali datang dan bersemi kembali.
Sekitar 880.000 tahun lalu, Cekungan Soa kembali dihuni. Kali ini bukan oleh gajah kerdil, tetapi oleh serombongan gajah besar (Stegodon florensis), tikus besar, dan komodo. Sekelompok manusia purba juga diduga kembali datang.
Namun, petaka kembali terjadi. Sekali lagi, letusan gunung api mengubur kehidupan yang baru bersemi di Cekungan Soa. Banjir lumpur kembali melapisi dan mengawetkan tulang binatang dan alat-alat batu itu.
Lapisan kehidupan tahap kedua inilah yang ditemukan Iwan Kurniawan, palentolog dari PSG, di lembah sempit yang berada di tengah-tengah Cekungan Soa. Situs yang diberi nama Mata Menge ini berada di ketinggian 325 meter di atas permukaan laut, dikepung perbukitan.
Situs Mata Menge, menurut Iwan, sudah diteliti oleh tim PSG bekerja sama dengan University of New England sejak akhir tahun 1990-an. Penggalian sebelumnya telah menemukan fosil Stegodon florensis, komodo, buaya, dan moluska air tawar. Selain itu juga ditemukan sedikitnya 200 alat batu yang umumnya terdiri atas serpih bilah dan batu inti.
Berjarak sekitar 2,5 kilometer dari Mata Menge, tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) melakukan penggalian di Kobatuwa. Situs ini berupa lembah yang bagian tengahnya dibelah sungai yang mengering saat kemarau. Nama Kobatuwa diartikan penduduk sebagai tali hutan karena wilayah ini dulu merupakan hutan yang ditumbuhi tanaman belukar dengan akar sangat lebat.
”Di Kobatuwa, kami menemukan beragam artefak batu yang melimpah dan fragmen fosil tulang serta gigi hewan vertebrata yang umumnya jenis hewan stegodon,” kata Jatmiko, arkeolog dari Puslit Arkenas. ”Sebagian temuan didapatkan dalam keadaan masih melekat di lapisan tanah aslinya.”
Pada umumnya, temuan artefak di Kobatuwa didominasi jenis alat-alat serpih bilah. Penelitian melalui analisis jejak belah terhadap endapan tufa putih yang melapisi situs mengungkap, situs ini berusia sekitar 700.000 tahun.
Berbagai temuan alat batu ini semakin menguatkan hipotesis Father Theodor Verhoeven bahwa Cekungan Soa pernah dihuni manusia purba. Pada tahun 1968, pastor berkebangsaan Belanda ini menemukan fosil stegodon dan artefak alat batu di Cekungan Soa. Verhoeven yang pernah belajar arkeologi itu menggali lapisan tanah di beberapa lokasi di Cekungan Soa, yaitu Mata Menge, Boa Lesa, dan Ola Bula.
Verhoeven melaporkan temuannya berupa alat batu dan tulang stegodon di balik lapisan abu gunung api. Karena stegodon hidup di Indonesia sekitar 750.000 tahun lalu, dia mengklaim bahwa alat batu itu juga berasal dari tahun yang sama. Namun, temuan itu tak banyak mendapatkan respons karena tiadanya kepastian umur batuan.
Setelah lama terabaikan, tahun 1991-1992, tim gabungan dari The Netherlands National Museum of Natural History bersama dengan PSG yang waktu itu masih bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G) melakukan penggalian di Mata Menge. Tim ini juga melakukan pengujian paleomagnetik untuk mengetahui umur lapisan batuan yang mengubur fosil dan artefak batuan.
Pada tahun 1994, P3G melanjutkan penggalian di Cekungan Soa bekerja sama dengan The University of New England, Australia. Penelitian itu berlangsung hingga saat ini dan telah menemukan 12 situs artefak dan fosil. Tersebar di bagian tengah cekungan, di bagian barat dengan situs Mata Menge, Kobatuwa, Boa Lesa, dan Lembah Menge. Di bagian utara terdapat kelompok Tangi Talo dan Ola Bula. Di bagian timur-tenggara terdapat kelompok Dhozo Dalu, Sagala, Ngamapa, dan Kopowatu.
Dari semua situs yang digali, ditemukan aneka jenis binatang purba dan alat batu. Namun, penggalian di Cekungan Soa belum menemukan tulang-belulang manusia purba. ”Berdasarkan bentuk alat-alat batu yang ditemukan, kami menduga manusia purba di sini adalah nenek moyang Homo florensiensis di Liang Bua,” kata Mike. ”Tetapi, semua teori ini masih spekulatif, sampai kami bisa menemukan fosil manusia purba di sini,” kata Mike, arkeolog tua ini sambil menghela napas.
Adam Brumm, research fellow pada University of Wollongong, Australia, mengungkapkan, temuan manusia purba di Flores juga bakal mengubah peta migrasi sejarah manusia. ”Kita akan punya bukti bahwa ada migrasi manusia dari timur. Ini menarik dan pasti akan mengejutkan dunia,” katanya.
Senja temaram di Cekungan Soa. Suasana sepi. Warga lokal yang bekerja sebagai penggali sudah pulang ke rumah. Mike baru saja beranjak dari lubang galian di Mata Menge menuju base camp di Desa Mengeruda ketika dia berkata dengan lirih, ”Satu gigi pun cukup. Satu tubuh, tentu akan lebih baik.”
(Tim Penulis Ekspedisi Cincin Api Kompas)
Sumber : Kompas Cetak Editor : Tri Wahon