Ancaman bagi pemilik rumah ialah rayap. Serangga kecil itu merusak struktur bangunan yang terbuat dari kayu. Bila selama ini pengendalian serangga yang sering dianggap hama dilakukan dengan cara kimiawi yang berefek negatif, alternatif lain ternyata ada. Dengan semangat terbarukan, jamur kini berpeluang menjadi biokontrol alami untuk membantu pengendalian hama rayap.
Penelitian mengenai biokontrol rayap di mulai sejak 2004 oleh peneliti senior pada Unit Biodegradasi dan Pengendalian Hama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr. Sulaeman Yusuf. Berdasarkan informasi yang diperolehnya, keberadaan rayap pada bangunan dan perumahan telah menimbulkan kerugian sebesar Rp 1,6 triliun pada 1998. Angka tersebut diperkirakan bertambah setiap tahunnya seiring dengan meningkat nya penggunaan kayu sebagai material struktur bangunan. Apalagi, sambung Sulaeman, banyak perumahan di Indonesia dibangun di atas lahan bekas perkebunan dan pertanian yang menjadi habitat ideal bagi rayap. Mereka tetap tinggal di bekas lahan tersebut sembari mencari cara bertahan.
Tidak semua jenis rayap menyerang struktur bangunan. Dua spesies rayap yang teridentifikasi merusak bangunan ialah Coptotermes gestroi dan Captotermes curvignathus. Keberadaan dua spesies tersebut sering kali tak terdeteksi oleh ahli kontruksi karena serangannya tak berbentuk gundukan.
Para developer kebanyakan hanya menyimpulkan perlakuan tanah dilakukan apabila ada sarang rayap yang terlihat membentuk mound (gundukan). Mound-builder species seperti Macrotermes danGlobitermes tidak dianggap sebagai perusak bangunan yang serius di Indonesia.
“Mereka hanya menyumbangkan kerusakan sekitar kurang dari 10% dari total kerusakan, sedangkan dua spesies rayap tadi (Coptotermes gestroi dan Coptotermes curvignathus) menyumbang kerusakan lebih dari 90% pada bangunan,” papar Sulaeman kepada Media Indonesia di Jakarta, Minggu (15/1).
Sejumlah upaya dilakukan untuk mengendalian keberadaan mereka. Salah satunya dengan penggunaan pestisida kimiawi berjenis organoklotin, organofosfat, dan piretroid sintetis. Sayangnya penggunaan bahan kimiawi tersebut terbukti berbahaya dan mencemari lingkungan. Karena itu, penelitian diintensifkan pada bahan organik yang lebih ramah lingkungan, tetapi tetap efektif mengatasi rayap perusak bangunan.
Setelah melalui penelitian awal, ia menemukan fakta jika jamur bisa digunakan sebagai biokontrol untuk mengendalikan hama rayap. Terdapat tiga jenis jamur yang potensial dikembangkan sebagai biokontrol bagi rayap jenis Captotermes, yakni jamur Humicola, Cunninghamella danFusarium. Ketiganya memiliki sifat patogen terhadap rayap karena memiliki bahan aktif bernama kitinase
“Jamur tersebut mengeluarkan metabolit sekunder yang akan merusak rayap melalui kulit dengan proses enzimatik dan terus masuk ke jaringan yang ada di dalam. Enzim tersebut bernama kitinase,” cetusnya.
Basmi Koloni
Jika pestisida kimiawi hanya mematikan hama yang terpapar, biokontrol berbahan jamur itu bisa membasmi rayap hingga seluru koloni. Caranya dengan menyemprotkan bubuk konidia (kumpulan spora jamur) yang sudah dilarutkan dalam air akuades ke salah satu anggota koloni rayap. Rayap tersebut kemudian dilepas kembali sehingga ia bisa kembali ke koloninya. Rayap yang telah diberi perlakuan tersebut tak sadar akan menularkan patogen yang disemprotkan padanya masuk koloni. Hal itu akan membuat seluruh koloni tereliminasi perlahan-lahan. Selama biokontrol itu bekerja, rayap masih bisa merusak bangunan. Hanya, aktivitas perusakannya tidak intens lagi karena kehidupan koloni sudah terganggu.
“Waktu kematian koloni rayap itu bergantung pada besar kecilnya koloni. Bervariasi antara satu dan tiga bulan,” imbuh Sulaeman.
Tak Stabil
Penggunaan jamur sebagai biokontrol itu dinilai aman bagi manusia dan spesies yang bukan sasaran. Selain itu, menurut Sulaeman, biokontrol itu ramah lingkungan karena bisa mengurangi pemakaian pestisida dan residu pestisida pada makanan serta meningkatkan biodiversitas dalam ekosistem. Meski demikian, agen biokontrol itu memiliki kelemahan, yakni hanya mampu mengontrol spesies tertentu, daya kerjanya lambat, dan memiliki viabilitas yang pendek.
“Efektivitasnya tidak stabil, bergantung pada kondisi jamur, media pertumbuhan, dan lain-lain sehingga efektivitasnya masih belum bisa mengimbangi bahan kimiawi, seperti bistrifluron atau heksaflumuron,” jelasnya.
Penelitian lanjutan kini masih dilakukan untuk mengatasi kelemahan yang ada. Penelitian kini difokuskan terkait dengan media tanam jamur. Penggunaan media yang tak sesuai bisa membuat tingkat patogenitas jamur menurun. Misalnya, jenis jamur Humicola yang ditanam di media sorgum. Jamur tersebut bisa tumbuh dengan baik, tetapi tingkat patogenitasnya malah menurun.
“Dalam beberapa pengamatan jamur Humicola masih bersifat patogen dan tumbuh dengan baik apabila digunakan media beras merah. Namun, daya penularannya dan aplikasi di lapangan masih perlu dikaji lebih lanjut karena kondisi di laboratorium berbeda dengan kenyataan di lapangan,” tukasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar