www.culanth.org
Ilustrasi : Pertanian Transgenik
JAKARTA, KOMPAS.com - Efek klinis produk rekayasa genetika impor, seperti jagung dan kedelai, hingga saat ini belum pernah diuji. Kalaupun ada, hal itu belum pernah dipaparkan secara terbuka sehingga terakses publik.
Menyusul temuan tumor pada mencit (tikus percobaan) yang diberi jagung transgenik di Perancis oleh Gilles-Eric Seralini dan tim, pengujian serupa mendesak dilakukan di Indonesia. Sejumlah produk impor hasil rekayasa genetika sudah masuk ke Indonesia, yang terakhir adalah benih jagung Bt dan RR produksi Monsanto yang mengantongi sertifikat keamanan pakan.
”Pengujian (efek) klinis produk transgenik impor diperlukan untuk pencarian opini kedua. LIPI sanggup melakukannya,” kata anggota Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika (KKH PRG), yang juga Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bambang Prasetya, di Jakarta, Senin (1/10/2012).
Menurut Bambang, dasar penerimaan produk pangan selama ini yang diindikasikan sebagai transgenik masih berupa data laboratorium dari pihak produsen. Pengujian berikutnya tidak dilakukan. ”Pengujian efek klinis dibutuhkan lagi setelah tahu ada penelitian jagung transgenik bisa mengakibatkan tumor atau kanker,” ujarnya.
Seperti diberitakan, sejumlah kalangan di negara-negara Eropa menentang produk transgenik. Apalagi setelah penelitian menunjukkan dampak buruk jagung transgenik pada mencit meskipun sejumlah kalangan meragukan hasil penelitian tersebut.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penelitian Biologi LIPI Siti Nuramaliati Prijono menegaskan, Indonesia menandatangani Deklarasi Rio tahun 1992, di antaranya mengakui prinsip dasar penanganan produk rekayasa genetika yang menekankan kehati-hatian.
”Prinsip ini mengakui ada potensi dampak lingkungan, ekonomi-sosial, dan kesehatan,” kata Siti. Oleh karena itu, keberadaan penelitian lebih lanjut terhadap produk transgenik diperlukan (Kompas, 25/9).
Tak terburu-buru
Menanggapi hasil penelitian dampak jagung transgenik terhadap mencit di Perancis, pihak Kementerian Pertanian tak akan terburu-buru bersikap.
”Kami akan teliti dulu siapa penelitinya, latar belakangnya, metode yang dipakai, serta pengambilan sampel,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Haryono.
Ketua KKH PRG Agus Pakpahan menyatakan, pihaknya tidak akan defensif terhadap temuan itu.
Ia menegaskan, hasil penelitian empiris perlu pembuktian yang lebih lengkap, termasuk dari peer review dan proses keilmuan lainnya. Tim Teknis Keamanan Hayati pada KKH PRG telah memperhatikan hasil riset Gilles-Eric Seralini terdahulu.
Sementara itu, peneliti tanaman transgenik pada Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Enny Sudarmonowati, mengatakan, uji efek klinis produk transgenik di Indonesia tetap diperlukan demi keamanan pangan. Namun, mempertanyakan hasil penelitian itu juga dibutuhkan, seperti mempertanyakan kondisi mencit yang digunakan untuk uji coba.
Hal yang juga tidak kalah penting adalah memasang label khusus pada produk transgenik yang diimpor ke Indonesia.
(NAW/ISW/MAS)
Menyusul temuan tumor pada mencit (tikus percobaan) yang diberi jagung transgenik di Perancis oleh Gilles-Eric Seralini dan tim, pengujian serupa mendesak dilakukan di Indonesia. Sejumlah produk impor hasil rekayasa genetika sudah masuk ke Indonesia, yang terakhir adalah benih jagung Bt dan RR produksi Monsanto yang mengantongi sertifikat keamanan pakan.
”Pengujian (efek) klinis produk transgenik impor diperlukan untuk pencarian opini kedua. LIPI sanggup melakukannya,” kata anggota Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika (KKH PRG), yang juga Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bambang Prasetya, di Jakarta, Senin (1/10/2012).
Menurut Bambang, dasar penerimaan produk pangan selama ini yang diindikasikan sebagai transgenik masih berupa data laboratorium dari pihak produsen. Pengujian berikutnya tidak dilakukan. ”Pengujian efek klinis dibutuhkan lagi setelah tahu ada penelitian jagung transgenik bisa mengakibatkan tumor atau kanker,” ujarnya.
Seperti diberitakan, sejumlah kalangan di negara-negara Eropa menentang produk transgenik. Apalagi setelah penelitian menunjukkan dampak buruk jagung transgenik pada mencit meskipun sejumlah kalangan meragukan hasil penelitian tersebut.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penelitian Biologi LIPI Siti Nuramaliati Prijono menegaskan, Indonesia menandatangani Deklarasi Rio tahun 1992, di antaranya mengakui prinsip dasar penanganan produk rekayasa genetika yang menekankan kehati-hatian.
”Prinsip ini mengakui ada potensi dampak lingkungan, ekonomi-sosial, dan kesehatan,” kata Siti. Oleh karena itu, keberadaan penelitian lebih lanjut terhadap produk transgenik diperlukan (Kompas, 25/9).
Tak terburu-buru
Menanggapi hasil penelitian dampak jagung transgenik terhadap mencit di Perancis, pihak Kementerian Pertanian tak akan terburu-buru bersikap.
”Kami akan teliti dulu siapa penelitinya, latar belakangnya, metode yang dipakai, serta pengambilan sampel,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Haryono.
Ketua KKH PRG Agus Pakpahan menyatakan, pihaknya tidak akan defensif terhadap temuan itu.
Ia menegaskan, hasil penelitian empiris perlu pembuktian yang lebih lengkap, termasuk dari peer review dan proses keilmuan lainnya. Tim Teknis Keamanan Hayati pada KKH PRG telah memperhatikan hasil riset Gilles-Eric Seralini terdahulu.
Sementara itu, peneliti tanaman transgenik pada Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Enny Sudarmonowati, mengatakan, uji efek klinis produk transgenik di Indonesia tetap diperlukan demi keamanan pangan. Namun, mempertanyakan hasil penelitian itu juga dibutuhkan, seperti mempertanyakan kondisi mencit yang digunakan untuk uji coba.
Hal yang juga tidak kalah penting adalah memasang label khusus pada produk transgenik yang diimpor ke Indonesia.
(NAW/ISW/MAS)
Sumber :
Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar