Pages
Kamis, 26 Juli 2012
Raja Ampat Memendam Potensi Sumber Antibiotik
JAKARTA, KOMPAS.com - Perairan Raja Ampat memendam potensi antibiotik ampuh yang mampu melawan bakteri patogen dan bakteri yang telah resisten dengan antibiotik yang sudah beredar saat ini.
Chelzie Crenna Darusallam dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mengungkapkan hal tersebut dalam seminar setengah hari bertema bioteknologi kelautan di Gedung Eijkman, Jakarta, Kamis (26/7/2012).
Chelzie meneliti keragaman mikroorganisme yang bersimbiosis dengan invertebrata seperti karang lunak, karang batu, spons dan siput laut. Riset sebenarnya tidak hanya dilakukan di perairan Raja Ampat, tetapi juga di Karimunjawa.
"Hasil penelitian, kami menemukan 10 mikroba di Raja Ampat dan 10 mikroba di wilayah Karimunjawa berpotensi menghasilkan senyawa antibiotik," kata Chelzie yang menuturkan bahwa kebanyakan bakteri yang ditemukan termasuk golonga Bacillus (berbentuk batang).
Selain mampu melawan bakteri patogen, Chelzie mengungkapkan bahwa bakteri yang ditemukan terbukti mampu melawan bakteri lain yang telah resisten pada antibiotik (MDR Strain).
"Hal ini cukup penting karena ini berarti bahwa muikroorganisme yang kita peroleh punya kemampuan untuk memproduksi anti agent yang lebih powerful dari antibiotik yang ada saat ini," jelas Chelzie.
Mikroba Sangat Potensial
Dalam simbiosis antara mikroba dengan invertebrata, antibiotik bisa dihasilkan oleh salah satu atau peran keduanya. Riset membuktikan, kemampuan invertebrata menghasilkan antibiotik sebagian besar disebabkan oleh mikroba yang bersimbiosis dengannya.
Ocky Karna Radjasa, pakar mikrobiologi laut dari Departemen Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro mengungkapkan bahwa meski ada invertebrata yang bisa menghasilkan senyawa antibiotik, mikroba lebih potensial.
"Menghasilkan antibiotik dari mikroba lebih ramah lingkungan. Selain itu kalau kita menghasilkan dari invertebrata, kita butuh lahan dan potensial muncul adanya konflik kepentingan," jelas Ocky.
Produksi antibiotik memanfaatkan invertebrata juga tidak ekonomis. Pertumbuhan invertebrata sangat lambat, setahun hanya 1 - 2 cm. Dengan demikian, pemanenan butuh waktu lama.
"Selain itu, sehebat apapun pertumbuhannya, yang dihasilkan sedikit, hanya 1 gram per satu ton. Kalau orang bisa menumbuhkan dengan cepat dan senyawanya banyak itu bagus, tapi sementara ini yang visible itu mikroba," papar Ocky.
Menurut Ocky, Indonesia kaya akan mikroba laut yang bisa menghasilkan senyawa berharga. Penggalian potensi mikroba laut adalah salah satu cara memanfaatkan sumber daya alam untuk mendatangkan keuntungan.
"Dalam penelitian di Raja Ampat kemarin saja, 80 persen spons yang kita temukan belum teridentifikasi. Jadi, ini baru. Kalau jenisnya baru, maka mikroba dan senyawanya juga baru. Ini potensi luar biasa," urai Ocky.
Indonesia bisa berupaya untuk mengidentifikasi senyawa yang dihasilkan suatu mikroba, memahami fungsinya serta mematenkannya. Temuan yang telah dipatenkan bisa ditawarkan ke perusahaan farmasi untuk diproduksi. Indonesia pun mendulang uang dari paten.
"Kita harus bergegas agar kekayaan ini tidak diambil orang asing," kata Ocky. Menurut Ocky, kekayaan Indonesia terancam dibajak lewat praktek biopiracy. Sampel jaringan biota Indonesia mudah diambil, disimpan, diidentifikasi gennya dan diperdagangkan.
Potensi yang ada sekaligus menegaskan perlunya upaya konservasi pada perairan Indonesia. "Kita juga harus bergegas menyelamatkan Wakatobi, Raja Ampat, Komodo dan Karimunjawa," katanya.
Editor :Tri Wahono
sumber
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
sumbalinga
"Saya tidak takut pada orang yang berlatih sekali untuk 10.000 tendangan, tapi saya takut pada orang yang berlatih satu tendangan sebanyak 10.000 kali"
Bruce lee
Tidak ada komentar:
Posting Komentar